(by Muna Faiza Amatullah)
Pernikahan menjadi awal
dari sebuah kehidupan rumah tangga, dimana di dalam rumah tangga akan mewujudkan
apa yang disebut tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan ini dibentuk dan
dijalankan oleh dua orang yanki suami dan istri yang tidak lain adalah seorang
laki-laki dan perempuan. Di dalam organisasi paling kecil ini juga terdapat
pembagian tugas agar tujuan pernikahan tercapai dengan baik. Allah telah
menentukan tugas tersebut, yakni laki-laki menjadi pemimpin keluarga dan
sebagai pencari nafkah (an-Nisa’ 34)
sedangkan istri menjadi penjaga harta suami ketika suami pergi ( hadist)
dan pelaksana atas kepemimpinan laki-laki.
Tugas-tugas ini telah
disesuaikan oleh Allah dengan keadaan biologis dan psikologi atau dapat kita
sebut sebagi fitrah dari masing-masing Pasutri (pasangan Suami istri). Allah
tidak akan membebankan hamba-Nya dengan sesuatu yang diluar kemampuannya (
Al-Baqoroh : 286 )dan Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya
(Al-qomar :49). Jadi pembagian tugas tersebut sangat sesuai bagi masing-masing
gender karena sesuai dengan fitrahnya sehingga dapat mencapai apa yang disebut
tujuan pernikahan dengan mudah. Salah satu tujuan pernikahan yang sangat
penting adalah meneruskan keturunan, di dalam pembahasan mahosid Syari’ah
disebut sebagai salah satu dari dhoruriyat Khamsah yakni Hidzhu Nasl (mejaga
keturunan). Penerusan keturuanan ini diharapkan dapat memperbanyak dan
memperkuat barisan umat dan yang paling penting mencegah kepunahan umat
manusia.
Lalu bagaimana jika
pernikahan dilaksanakan oleh satu jenis manusia, yakni laki-laki dengan
laki-laki (gay) atau perempuan dengan perempuan (lesbi). Tentunya hal ini akan
merusak peran yang sudah Allah tetapkan pada masing-masing gender. Yaitu
laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri, dimana setiap perannya
membutuhkan kesesuaian dengan firah baik fisik maupu psikis. Fitrah yang berupa
perbedaan tersebut akan menjadi pelengkap dari peran masing-masing pasutri
dalam rumah tangga. Yaitu laki-laki sebagai suami yang Allah telah tetapkan
sebagai pemimpin dan pencari nafkah sehingga Allah memberikan kelebihan untuk
menunjang keawjiban tersebut baik dari segi biologis maupun psikologi. begitu
pula perempuan sebagai istri yang juga memiliki kelebihan lain secara biologis
maupun psikologis yang dapat menunjang tugasnya sebagai seorang istri.
Perbedaan komposisi
dalam rumah tangga ini dikarenakan di dalam menjalankan sebuah institusi atau
organisasi yang dibutuhkan adalah sebuah struktur dengan peran yang
berbada-beda karena kelebihan disetiap
individu berbeda pula. Dengan perbedaan tersebut akan menjadi pelengkap satu
sama lain sehingga tujuan dari sebuah institusi maupun organisasi akan mudah
tercapai. Begitupula dalam institusi/organisasi terkecil yaitu rumah tangga.
Diperlukan jenis yang berbeda yang sesuai dengan kelebihan dan kemampuan yang
telah dimiliki dalam diri masing-masing untuk saling melengkapi sehingga tujuan
akan mudah untuk tercapai. Namun, jika di dalam rumah tangga hanya ada satu
jenis manusia baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak akan mampu melengkapi
kedua peran yang berbeda. Sehingga akan muncul ketidakseimbangan
Selain
ketidakseimbangan peran dalam rumah tangga, penikahan sejenis tidak akan dapat
mencapai mahosid (tujuan) dari pernikahan yakni hifdzhu nasl (menjaga
keturunan).karena keturunan hanya dihasilkan dari sperma yang ada pada
laki-laki dan telur yang ada pada perempuan. Bagaimana akan memperoleh
keturunan jika yang dimiliki dalam rumah tangga hanya sprema atau hanya telur ?
Singkatnya, pernikahan
oleh sesama jenis akan merusak keseimbangan peran dalam rumah tangga yang telah
diatur peran masing-masing oleh Allah melalui fitrah biologis dan psikologis
yang iikat dalam syari’at. Dan yang lebih penting adalah pernikahan oleh sesama
jenis akan merusak tujuan pernikahan, dimana didalam tujuan pernikahan ada
kelangsungan hidup manusia. Sungguh Allah tidak akan meciptakan segala sesuatu
dengan sia-sia ( Ali Imron 191). HuaAllahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar