Rabu, 22 Mei 2013

MITOLOGI DAN PENGGAMBARAN JIWA MANUSIA


"The sexual wishes in regard to the mother become more intense and the father is perceived as an obstacle to the; this gives rise to the Oedipus complex."


-SIGMUND FREUD, The Ego and the Id-

Itu adalah sebuah kutipan Freud tentang Oedipus complex. Sebenarnya siapakah Oedipus sendiri? 
Mungkin kita harus kembali pada legenda lama dari Yunani. Oedipus adalah nama seorang anak raja yang dibuang, karena diramalkan dia akan membunuh ayahnya, Raja Laios. Suatu saat ramalan terbukti,, tanpa menyadari kalau itu ayahnya, Oedipus si anak terbuang membunuhnya, kemudian mengambil alih kerajaannya dan menikahi istri sang raja yang tak lain ibunya. Saat menyadari bahwa identitas Oedipus adalah anak kandungnya, sang ibu, Ratu Lokasta, akhirnya bunuh diri.


Dalam aliran psikoanalisis Sigmund Freud merujuk pada suatu tahapan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak saat anak dari kedua jenis kelamin menganggap ayah mereka sebagai musuh dan saingan dalam meraih cinta secara eksklusif dari ibunya. Pada masa selanjutnya, Freud sedikit mengubah pandangannya dengan mengatakan bahwa untuk anak laki-laki sudah ada sejarah identifikasi dengan ayahnya, yang tidak menyertakan persaingan dengannya. Lebih jauh, untuk anak perempuan Freud beranggapan bahwa hubungan dengan ibunya sebagai sangat penting untuk memahami perkembangan psikoseksualnya, yang mempengaruhinya dalam memasuki Oedipus Complex. Dalam hal kebalikannya teori Elextra Complex pernah dipopulerkan oleh Jung. Elextra complex mirip dengan Oedipus Complex, namun disini subjeknya anak perempua, dan bersaing dengan ibu dalam meraih perhatian ayah. Elextra, Psyche, Narcissus, Archetype Seringkali dalam psikologi kita menemui istilah yang akrab dengan mitologi Yunani. 
Narcissus, gambaran perilaku narsistik

Mitologi sendiri berasal dari kata mitos (mitos, cerita lisan yang sakral) dan logos (ilmu)  atau Ilmu yang mempelajari tentang mitos-mitos. Pada tahun 1867, Max Muller, seorang philologist (ahli bahasa-bahasa), memperkenalkan apa yang disebut dengan “Mitologi Komparatif” dimana menggunakan kajian mitologi sebagai pendekatan situasi. Psikologi sebagai ilmu berkembang pesat pada akhir abad 19 juga mengadopsinya. Salah satu penggunaan pendekatan mitologi ini pertamakali adalah dalam buku “Tafsir Mimpi” Freud. Selain itu tokoh Psikoanalisa lain, yakni Carl Jung, juga membuat pendekatan ini semakin dikenal, menurutnya “Pembentukan mitos merupakan struktur paling sederhana dalam alam ketidaksadaran jiwa.”

Ada beberapa alasan, kenapa mitologi Yunani yang banyak dipilih menjadi simbolisasi. 

1. Mungkin pada era tersebut (akhir abad ke 19) ilmu Mitologi Komparatif sedang berkembang. 

2. Mungkin juga karena literatur tentang cerita mitologi Yunani memang sudah menyebar di Eropa. 

Memang hampir semua orang eropa suka dengan mitos dan dongeng-dongeng. Gedung- gedung pertunjukan, buku-buku, dipenuhi cerita legenda, atau epos semacam ini. Mulai dari sebagai hiburan kelas atas di Opera House, cerita pengantar tidur sampai kajian sastra di sekolah, mitologi Yunani begitu familiar bagi mereka. 
Carl Gustav Jung

Lebih dari itu peran mitologi sebagaimana dikatakan Jung, merupakan representasi pikiran manusia terhadap sebuah karakter atau sifat yang tidak disadari ada pada diri manusia. 

Di Indonesia sendiri kita mengenal wayang, wayang merupakan bayang-bayang, bayangan atau cermin manusia, karena itu ada karakter baik, buruk, bijak, curang maupun patriotik, dsb. Di Jawa orang zaman dulu sering menggambarkan perilaku atau sosok manusia dengan pepindhan (pengandaian) karakter wayang. Misalnya, Gagah prakosa koyo Raden Werkudara (gagah perkasa seperti Bima), Pethakilan koyo Buta Cakil (banyak tingkah/ polah seperti Cakil), atau Mbranyake kaya Dewi Srikandhi (wanita orang yang tangkas cekatan seperti Srikandi).
Wayang (Buta Cakil).
Rupanya leluhur kita zaman dahulu, walaupun belum mengenal istilah psikologi, secara cerdik mampu menyisipkan pelajaran tentang perilaku manusia, bahkan menciptakan seni budaya yang bukan hanya bersifat hiburan semata, tapi juga dijadikan cermin nilai moral, sosial dan relgiusitas. (Gilang '10)

Rujukan:
Nadia Sels, MYTH, MIND AND METAPHOR: On the Relation of Mythology and Psychoanalysis

1 komentar: